BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Rabu, 19 Januari 2011

Stop Politisasi Sepakbola

Sepakbola adalah salah satu olahraga yang sangat digemari di dunia ini,bahkan popularitas sepakbola di dunia ini tidak sanggup disaingi oleh olahraga lainnya. Dan di tanah air sendiri,sepakbola adalah satu-satunya olahraga yang memiliki jumlah penggemar terbanyak. Dan kegilaan Indonesia akan sepakbola ini juga diakui oleh salah seorang kolumnis berkebangsaan Inggris yang pernah mengatakan bahwa Indonesia adalah sebuah negara dengan masyarakat yang sangat menggilai sepakbola melebihi kegilaan orang-orang Inggris terhadap sepakbola. Kegilaan masyarakat Indonesia akan sepakbola juga diakui oleh beberapa pemain asing yang merumput dan pernah merumput di Liga Indonesia baik Ligina di masa yang lalu ataupun Liga Super Indonesia di masa kini. Jadi tidak mengherankan apabila akhir tahun lalu tepatnya di bulan Desember 2010,rakyat Indonesia berpesta dalam gelaran AFF Cup Championship,sebuah kejuaraan rutin yang digelar oleh AFF (ASEAN Football Federation). Pesta tersebut menjadi salah satu pesta terbesar yang pernah tergelar di negeri ini. Masyarakat Indonesia dari Sabang hingga Merauke berduyun-duyun mendatangi stadion keramat kita sekaligus stadion kebanggan yang dibangun pada tahun 60-an oleh Ir Soekarno sebagai salah satu venue untuk Ganefo,mereka datang dari seluruh penjuru nusantara bak semut yang mengerubuti gula yang besar bernama SUGBK (Stadion Utama Gelora Bung Karno).

Pesta di akhir tahun tsb memang ditutup dengan kegetiran dan ironi yang tergambarkan di final AFF Cup dimana Indonesia harus mau mengakui keunggulan tim tetangga sekaligus derby ASEAN terpanas Malaysia. Kegetiran dan ironi tsb memang menjadi sebuah pil pahit yang harus ditelan ramai-ramai oleh seluruh bangsa ini,akan tetapi kegetiran tsb tidak lantas membuat masyarakat sinis terhadap sepakbola kita. Sebuah sikap yang berbeda ditunjukkan oleh masyarakat Indonesia,mereka laksana terpecut untuk memberikan yang terbaik bagi persepakbolaan nasional. Sikap tersebut memang baru terjadi kali ini,dimana masyarakat begitu mencintai timnas mereka walau timnas tidak mampu memberikan trophy dan tampaknya sikap optimisme dari masyarakat tetap terjaga hingga hari ini.



Sikap optimisme masyarakat terhadap timnas sepakbola mereka ini sayangnya harus dikotori oleh campur tangan beberapa politisi yang ingin mendompleng ketenaran timnas tsb. Campur tangan politisi ini sudah terlihat kala final AFF Cup Leg 1 di Stadion Bukit Jalil,Malaysia. Di stadion kebanggaan masyarakat Malaysia tsb,politisi senayan kita dengan bermodalkan uang dan juga topeng yang tebal yang sanggup menutupi urat malu mereka tsb dengan pemasangan beberapa spanduk dari politisi tsb. Belum lagi sikap sang Ketum yang juga salah satu politisi senior di salah satu partai besar Indonesia ini membawa seluruh anggota timnas untuk memenuhi jamuan makan malam sang ketum partainya yang juga sebagai atasan Ketum PSSI tsb. Dan dari sinilah perang opini,pendapat dan juga klaim siapa yang benar-benar menjadi "Dewa Penolong" bagi persepakbolaan nasional kita dilontarkan elit-elit politik kita.

Konflik awal di AFF Cup tsb ternyata berimbas lebih besar tatkala seorang pengusaha yang juga salah satu politisi dari sebuah parpol besar lainnya yang menghembuskan ide Liga Primer Indonesia. Sebuah ide yang sebenarnya cukup bagus,namun sayangnya ide tersebut harus menabrak dan juga melanggar aturan-aturan yang sudah dibuat oleh FIFA. Aturan FIFA yang termuat dalam Statuta FIFA yang juga diratifikasi oleh PSSI sebagai statuta PSSI ini menjadi dasar bagi organisasi,badan,kelompok orang dan juga sebuah konsorsium yang berniat membentuk dan menjalankan sebuah klub sepakbola dan juga kompetisi sepakbola. Ide LPI yang digelontorkan tsb akhirnya berujung pada konflik antara PSSI dan juga konsorsium LPI yang berujung pada mundurnya dan juga pembekuan klub dan juga pengda PSSI di beberapa daerah. Konflik LPI dan PSSI ini menjadi semakin carut marut dan tampak tak bersimpul ujung dengan sebuah keputusan yang dikeluarkan oleh Kemenegpora yang menyatakan LPI dibawah BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia). Keputusan yang diambil sepertinya lebih didasarkan oleh ego dan juga pertikaian elit-elit politik kita antara parpol-parpol yang selama ini sedang berseteru dengan hebatnya di kancah politik nasional. Konflik berkepanjangan ini tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali sebuah kehancuran bagi sepakbola nasional kita dan juga memakan korban bagi perangkat sepakbola nasional kita,macam wasit,asisten wasit,inspektur pertandingan,pemain,pelatih dan juga suporter sepakbola itu sendiri yang terbelah menjadi dua kutub.

Pertikaian PSSI dan LPI ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila baik PSSI,LPI dan juga pemerintah sama-sama memahami aturan-aturan yang sudah dibuat oleh FIFA yang memang mengikat kepada seluruh anggotanya di seluruh dunia termasuk PSSI. PSSI kita memang bermasalah,namun ide liga tandingan adalah sebuah ide terburuk yang pernah dilontarkan dan bahkan direalisasikan oleh seseorang yang katanya peduli akan sepakbola nasional ini. Apabila pengusaha tsb memang mencintai sepakbola nasional ini,seharusnya mau bertarung di Kongres PSSI guna bersaing dengan Sang Puang menuju PSSI-1. Kalaupun langkah tersebut dinilai tidak efektif karena sebagian besar anggota PSSI tetap mendukung Sang Puang,langkah kedua yang dilakukan adalah dengan mendesak pemerintah untuk mengambil alih langsung PSSI yang konsekuensinya adalah dibekukannya PSSI dan juga timnas Indonesia oleh FIFA, namun langkah ini lebih bijak bila dibandingkan dengan ide merealisasikan liga tandingan bernama LPI karena akibat liga tandingan tsb pun bisa berujung pada dibekukannya PSSI dan timnas Indonesia oleh FIFA.

Pengambil alihan PSSI oleh pemerintah adalah sebuah sikap yang lebih bijak,karena energi yang kita punya akan terfokus pada reformasi PSSI dengan memanggil seluruh stakeholder sepakbola nasional termasuk di dalamnya adalah ahli sepakbola dan juga wartawan sepakbola serta suporter sepakbola itu sendiri yang selama ini menjadi nyawa bagi persepakbolaan nasional. Pemerintah hanya akan fokus pada reformasi PSSI dan juga membuat cetak biru bagi PSSI,kompetisi nasional,pengembangan pemain-pemain muda,cetak biru SSB,dsb yang diharapkan menjadi langkah awal menuju sepakbola nasional yang lebih baik lagi di masa depan. Akan tetapi pemerintah dalam hal ini Kemenegpora pun harus sadar bahwa PSSI jangan dijadikan kendaraan politik bagi sebuah parpol dan perorangan. Jadi nantinya ketum PSSI memang harus orang yang tidak berafiliasi kepada partai politik manapun agar PSSI tidak lagi disetir dan hanya dijadikan kendaraan politik bagi seseorang,kelompok orang dan juga parpol.Semoga kedepannya yang memimpin PSSI adalah seorang yang mengetahui sepakbola,aturan-aturan FIFA,mampu mengorganisasikan PSSI,dan juga yang lebih penting adalah tidak berafiliasi pada partai politik. Semoga...

dikutip dari komentar Sal-05 di Bolanews.com